Simfoni Idul Fitri Kaum Modernis

Maksis Sakhabi*

Tangkapan layar Maksis Sakhabi saat memberi materi di salah satu diskusi melalui virtual room.

Sudah menjadi tradisi yang turun temurun masyarakat Indonesia di setiap merayakan dan merasakan perayaan Hari Raya Idul Fitri (baca: lebaran) selalu disertai dengan aktivitas anjang sono atau anjangsana, yaitu aktivitas silaturahmi, bertemu, melepas rindu kepada saudara, tetangga, sahabat dan handai tolan. Maka sangatlah wajar bagi para perantau selalu menyempatkan kembali ke kampung halaman sekedar untuk merayakan dan merasakan suasana Lebaran bersama orang-orang terkasih dan orang-orang yang sudah sekian lama tidak dijumpai. Kita menyebutnya dengan istilah mudik. Mereka yang bertahun-tahun tidak kembali ke kampung halaman adalah yang paling merasakan nikmatnya kembali bersama orang-orang yang lama tak dijumpai, keluarga, saudara, teman, sahabat dan sebagainya. Keberadaan mereka para pemudik ini ketika berada di kampung halaman dipandang oleh sebagian penduduk asli yang masih menetap di kampung itu sebagai bukan orang biasa. Mengapa? karena ada sejumlah harapan dan ingatan pada masa lampau yang pernah dijalani bersama-sama di kampung halamannya. Setelah merantau dan pergi ke kota dalam jangka waktu lama, ada yang untuk sekolah, bekerja, atau lainnya mereka membawa harapan dan ingatan itu. 

Harapan itu adalah berupa perubahan sosial pada kehidupannya. Ada yang dulu tidak punya istri di kampungnya, setelah kembali pulang membawa istri. Ada juga yang mulanya tidak punya anak ketika kembali pulang membawa anak, ada yang tidak memiliki kendaraan berupa sepeda motor, mobil atau lainnya ketika kembali pulang membawa barang-barang langka yang ada di kampung. Semua ini menjawab harapan dulu yang sempat diingat-ingat. Sehingga hal ini menjadi dorongan setiap orang untuk membawa perubahan sosial dalam kepergiannya ke kota lalu kembali ke kampung halaman dalam keadaan memenuhi harapan dan punya segala yang diimpikan.


Namun ada satu hal yang juga ketika para pemudik itu dulu tidak kepikiran yaitu perubahan sikap, karakter dan emosi. Dulu mereka adalah orang kampung yang lugu, luwes, sederhana dan apa adanya. Kini, mereka yang sudah lama berada di kota juga berubah dalam kondisi sikap, karakter dan emosional. Mereka cenderung ingin disebut sebagai masyarakat yang memiliki klasifikasi atau kita sering menyebutnya masyarakat berkelas atau kaum modern.


Tokoh muslim terkemuka, Ibnu Chaldun mengungkapkan bahwa kehidupan manusia ini akan selalu sejalan dengan siklus yang menjadi bagian dari masyarakat, yakni masyarakat akan berupaya melakukan pembangunan lalu peningkatan taraf ekonomi dan seterusnya. Akan tetapi setelahnya, masyarakat pulalah yang akan menjadi penyebab kehancuran dari suatu peradaban. Maka, setiap orang juga akan melihat dari sisi yang sama dalam suatu perubahan kehidupan. Mulanya mereka memandang norma dan moral sebagai panglima dalam kehidupannya, sehingga tidak memberi arti penting pada capaian materi. Namun, seiring waktu berjalan, ketika ia melihat lingkungan sekitarnya mengalami perubahan sosial maka ia akan melihat pembangunan itu menjadi penting, dan tatkala pembangunan semakin berhubungan dengan kebutuhan kehidupannya maka ia akan berupaya meningkatkan kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. 


Jadi, saat ini kita melihat secara terbuka di kampung halaman orang yang kembali ke kampung alias mudik berlomba-lomba menampilkan capaian-capaian materil pada sisi kehidupannya, sebaliknya ia tidak mempedulikan keadaan batin dan spiritualnya. Mereka sudah menjadi bagian dari kelompok modern yang memandang keberhasilan dari sisi material semata. Namun pada sisi lain, pertumbuhan sikap toleransi, tenggang rasa, kepedulian seakan tidak wajib dan tidak berpengaruh pada pengakuan orang lain. Maka yang terjadi adalah berlomba dalam materialistik bukan berlomba dalam nilai kebaikan sesama. Mereka sebentar lagi akan meninggalkan firman Tuhan, yakni fastabiqul khoirot.

 

Melawan Nafsu

Ramadhan berlalu meninggalkan para penikmat ibadah, bagi yang tak mampu menikmatinya sama seperti bulan-bulan biasa tanpa keistimewaan. Karena keistimewaan Ramadhan terletak pada spiritualitas yaitu keimanan.

Idul Fitri sebagai pengganti kesedihan atas perginya Ramadhan, namun jejak Idul Fitri sama seperti Ramadhan, hanya bisa dinikmati oleh mereka yang dalam kapasitasnya mampu menikmati ibadah di dalamnya. Banyak kenikmatan ibadah di Hari Raya Idul Fitri, seperti memberi maaf. Tidak sembarang orang yang mampu memberi maaf dengan tulus dan ikhlas. Keikhlasan dan ketulusan seseorang yang memberi maaf adalah kemurnian ibadahnya kepada Allah SWT. Ia menyadari dengan memberi maaf kepada saudaranya merupakan bentuk penyucian diri dari dosa dan kunci mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Kemudian juga silaturahmi. Mencerminkan betapa hubungan manusia dengan manusia memiliki kedudukan di mata Allah SWT. Tak hanya baik secara vertikal namun harus baik pula secara horizontal. Manusia dan manusia lainnya harus terlihat rukun, damai dan sentosa. Idul Fitri sebagai waktu yang tepat untuk saling mempererat hubungan sesama. anak dengan orang tuanya, suami dengan istrinya, murid dengan gurunya, teman dengan temannya, bahkan pemerintah dengan rakyatnya. Lalu, ada juga ibadah yang bersifat mahdhoh, seperti puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal pasca Idul Fitri yang pahalanya sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. Serta ibadah meneruskan kebaikan-kebaikan selama yang dilakukan di bulan Ramadhan.


Tetapi ada tantangan besar yang tidak semua orang mampu melewatinya, yaitu melawan nafsu dalam diri. Setiap orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan akan terlihat amalannya pada saat bulan Syawal. Karena di dalam bulan tersebut, sesungguhnya orang menjalankan kehidupan berdasarkan kebiasaannya. Maka ada yang pada saat Ramadhan ia rajin sekali ke masjid namun setelahnya seperti orang pensiun ke masjid, begitu pula kebiasaan Tadarrus Al Quran di rumah pada saat Ramadhan tetapi setelahnya hilang kembali tak sempat lagi, begitu seterusnya. Semua itu adalah tentang nafsu. Nafsu kita berubah seketika ketika Ramadhan pergi dan berada pada bulan Syawal. Kaum modernis menanggap perayaan Idul Fitri harus terasa secara materialistik tetapi tidak dengan spiritualistik. Maka yang terlihat adalah mereka berduyun-duyun pergi ke tempat-tempat bermain, sebatas membunuh waktu. 


Bagi yang tidak bepergian menikmati permainan yang dicarinya dianggap tidak berlebaran, karena tidak merasakan berlibur, berwisata dan semacamnya. Namun pada hakikatnya, berwisata itu adalah cara kita bersyukur setelah melewati Ramadhan dengan baik penuh ibadah dan penuh pahala. Berwisata yang tidak mendatangkan kebaikan adalah yang diisi dengan aktivitas berfoya-foya, pamer harta, pamer keluarga, pamer relasi dan sebagainya. Harus disadari hal ini dapat menyebabkan munculnya sifat sombong dalam diri.


Sebagian orang berlebaran dengan berfoya-foya, mengunjungi tempat-tempat wisata yang tidak mendekatkan kepada ketaatan kita kepada Allah SWT. Ketika berada di tempat keramaian orang cenderung lupa dengan dirinya yang telah berjuang mengisi ibadah di bulan Ramadhan, namun ketika melewatinya dengan keadaan yang berbeda-beda, Ia akan cepat terputus lantaran menikmati hari raya dengan godaan kenikmatan sesaat. Berwisatalah dengan tidak berlebihan, misalnya sesibuk apapun ketika waktu sholat datang segeralah untuk menujunya, jangan sebaliknya, dikarenakan tengah mengantri panjang untuk memasuki satu tempat rekreasi, melupakan waktu-waktu sholat Fardhu.


kealfaan perilaku kaum modernis ini tercermin dari para pejabat publik kita yang berlebaran dengan gemerlap kemewahan seakan tidak sadar bahwa negara kita dalam keadaan yang mengkhawatirkan, terlebih pasca Donald Trump mengumumkan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32%. Berlebaran dengan tradisi open house di kalangan pejabat publik memang sudah ada sejak era terdahulu. Setiap momen Lebaran tiba, para pemimpin kita kerap mengadakan open house sebagai sarana silaturahmi dengan keluarga, kolega, rekan sejawat dan sebagainya. Namun ada hal yang hari ini bergeser dari makna tradisi open house itu sendiri yaitu tidak menyertakan rakyat kecil, jelata dan wajib dipelihara negara. Justru sebaliknya, yang didatangkan di acara Lebaran pejabat itu hanya mereka yang berpangkat, bertitel, berkedudukan, dan relasi bisnis serta relasi sosial. Mestinya pejabat kita harus ada yang berani menghadirkan atau membuka pintu selebar-lebarnya tanpa protokoler dan tanpa screening sehingga para rakyat yang tengah dipelihara negara itu berani datang dan bertemu dengan pemimpinnya. Bukankah Idul Fitri ini momen yang tepat untuk para pejabat memperbaiki hubungan dengan rakyatnya? Semoga saja.


(Penulis adalah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Kabupaten Tangerang)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran di Sekolah pada Bulan Ramadhan Lahirkan Banyak Inovasi Pendidikan

Koalisi Senyap Golkar-PDI P di Banten

Kapsudin Nor Mantan Komisi Kejaksaan RI Didorong Maju Dewas KPK RI